SELAMAT MEMBACA CATATANKU SEMOGA KALIAN SEMUA SUKA

Anak Durhaka

| Sabtu, 29 November 2008
Daffa Priska Febianti

Zaman dahulu ada seorang anak namanya Dito dan Kiki. Mereka kalau disuruh pasti pura-pura tidak dengar. Tetapi, kalau disuruh main, baru mau! Biasanya, mainnya sampai malam. Kalau malam, mereka berdua main PS di rumah temannya yang bernama Dikso. Padahal, mereka berdua besok harus sekolah. Orangtua mereka heran, mengapa Dito dan Kiki belum pulang juga? Orangtua mereka takut kalau Dito dan Kiki diculik. Walaupun mereka anak yang tidak patuh sama orang tuanya. Namun, orangtua mereka masih sayang kepada Dito dan Kiki. Bahkan, mereka sekarang sudah berubah dan sekarang mereka tidak suka main sampai malam lagi.

Nah, kalau kalian seperti mereka, harus berubah ya! Biar ndak kayak mereka.


Vila Elektrik, 29 November 2008

Putri Salju

Daffa Priska Febianti

Oh putri salju kau sangat cantik bila dipandang Nasibmu malang sekali
Kau telah diusir dari rumah dengan ibu tirimu yang jahat sekali
Apakah kau betah tinggal di dalam hutan sana yang penuh binatang buas dan penuh rumput- rumput yang panjang dan menakutkan sekali? Untung ada kurcaci yang baik dan kau tertolong Berkat kurcaci kurcaci yang baik hati
Jadi kau tidak sendirian lagi
Dan kau bisa tinggal disana dengan kurcaci- kurcaci yang baik hati
Kau keracunan karena ibu tirimu yang jahat sekali Pertama kau di kasih ikat pinggang
Kedua apel yang ada racun
Terakhir jepit rambut
Para kurcaci kaget
Tapi nyawamu bisa di selamatkan berkat pangeranmu


28 November 2008

Suatu Ketika Bersama Daffa[1]

| Jumat, 28 November 2008
Papa Dedy
Daffa... Daffa... Daffa... suaraku menggema sekitar kamar memanggil nama anakku. Setiap pagi setelah salat Subuh kadang-kadang aku teriak dan terkadang kucium-cium wajah cantiknya supaya dia bangun.Biasanya Daffa hanya merespon dengan erangan “Ehheeeee” sambil “pura-pura” menangis dan menepis wajahku dengan tangannya atau menutup mukanya dengan tangan mungilnya. Kalau sudah begitu, pasti langsung menarik guling butut kesayangannya untuk dipeluk dan tidur lagi.Ya, anakku Daffa memiliki guling kesayangan yang tidak pernah disarung. Guling itu tidak boleh dipinjam atau disentuh oleh mama-papanya. Kalau macam-macam dengan guling itu pasti dia teriak berang. Padahal, guling itu aromanya tidak segar, maklum bekas keringat atau iler yang kadang keluar sedikit tiap-tiap abis tidur. Bau bukan? Tetapi siapa yang perduli, kata mama bau gulingnya sudah seperti bau papong (pangilan untukku). “Ya pastilah, namanya juga Bapaknye!”, kataku dalam hati sembari tersenyum.Kita terkadang menyingkirkan guling bututnya agar dia lekas bangun pagi tetapi dia malah bangun mencari-cari guling tersebut dengan mata yang masih merem—kalau sudah dapat, guling itu pun langsung dipeluk dan dia tidur lagi.Lucu memang, tetapi itulah Daffa. Kalau sudah begitu, mamanya pun dengan lembut membangunkan sambil bergurau atau mengatakan ayam berkokok sudah memangil-mangil nama Daffa. “Daffaaaaaa banguuun, Daffaaaaaa banguuun”, kata istriku sembari menirukan kokok ayam.Aku pun menimpali “Ayo bangun, cepat-cepat, Bang Iki udah mau pergi tu”, kataku. Kebetulan anakku mempunyai seorang teman lelaki yang satu sekolah dengan Daffa dan merupakan tetangga sebelah rumah yang suka kita panggil Bang Iki. Kalau sudah begitu, biasanya Daffa bangun karena dia tidak ingin keduluan dengan Bang Iki dalam hal berangkat sekolah.Dengan agak malas-malasan, Daffa bangkit dari tempat tidurnya, terus langsung menonton film kartun yang memang sudah ada di Globaltv. Kalau sudah menonton Sponge Bob, Diego, Dora, dan Rudi Tabuti di Globaltv, pasti mulai malas lagi untuk mandi.[2]Akan tetapi, biasanya Daffa sadar kalau dia harus bergegas mandi dan berpakaian agar tidak telat ke sekolah. Kadang kala kalau Daffa malas bangun kita stelkan film kartun di Globaltv keras-keras agar dia tersadar dan bangun.Mujarab juga, dia langsung bangun! Harus diakui program kartun pada Subuh hari bagus untuk membangunkan anak. Tidak lebih!Mama kemudian merebus air untuk mandi Daffa dan menyiapkan telur dadar untuk sarapan. Pagi hari Daffa sudah sibuk dengan persiapan masuk sekolah, maklum Daffa sekolah di SD Muhamadiyah II yang sudah harus masuk kelas sekitar pukul 06.25 WIB dan pulang pukul 12.00 WIB. Sebagai siswa baru tentu Daffa harus rajin dan tidak terlambat datang ke sekolah. Bahkan dijemput pulang pun harus tepat waktu karena dia masih belum akrab dengan lingkungan sekolah.[3]Oleh karena itu, pada pagi hari kami harus buru-buru ke sekolah sebelum bunyi bel masuk berdering. Setiap hari kami memulai pagi yang indah sebagai rutinitas harian. Bahkan kami (Mamong dan Papong) pun jadi punya etos kerja yang baik gara-gara harus mengantar anak ke sekolah setiap hari lebih pagi—sehingga tidak mengherankan kami datang ke kantor lebih awal dibandingkan dengan teman-teman kantor lainnya.Selesai mengantar Daffa, kami pun beranjak ke kantor. Kebetulan kami bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pontianak, Kalimantan Barat. Daffa kami jemput lagi sekitar pukul 12.00. Lalu kami mengantar Daffa ke tempat neneknya di daerah Sungai Jawi, tidak seberapa jauh dari sekolahan Daffa.Biasanya, setiba ditempat neneknya, Daffa makan siang lagi-lagi dengan lauk favoritnya, yaitu telur ceplok atau dadar + saus sambal. Sambil makan, biasanya dia bermain-main dengan Didil[4] anak adik perempuanku yang tinggal dengan nenek Daffa dan juga bersama Yayang anak pamanku. Mereka memang teman akrab, main sepeda selalu bersama. Namun, Daffa terkadang merasa suntuk dan gusar kepada Didil karena selalu mengikutinya bermain-main dengan Yayang.“Ih Didil nih, ikut-ikut Daffa terus jak”, kata Daffa kesal kalau lagi bad mood.[5]Akan tetapi, belakangan ini mereka malah menjadi sangat akrab karena selalu berdua terus. Ya, wajar saja mereka akrab karena kalau sudah pukul 12.30 teman-teman sebaya Daffa pada masuk sekolah alias sekolah siang sehingga Daffa tidak ada teman bermain kecuali Didil.Teriknya matahari tidak menghalangi Daffa dan Didil bersepeda di jalanan gang sekitar rumah ibuku. Paling-paling neneknya berteriak “Jangan jauh-jauh, panas. Main di rumah jak”, seru Ibuku mengingatkan mereka.Dasar anak kecil, bukannya mendengarkan teriakan neneknya malah terus mengayuh sepeda lebih kencang. “Awas ada motor lewat. Ketepi ya”, teriak nenek Daffa lagi, terus mengingatkan mereka. Aku juga mengingatkan mereka untuk tidak bermain di tengah jalan.Oh ya, biasanya aku membawa Daffa dan Didil untuk beli jajanan di warung dekat rumah, setibanya Daffa dari sekolahan. Kami pun kerap melihat orang-orang mengantri untuk mendapatkan minyak tanah. Kebetulan agen minyak cukup dekat dengan rumah nenek Daffa.“Kesian ya Pa”, seru Daffa padaku melihat antrian dan kerumunan orang yang berebutan. Aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan. Begitulah nasib rakyat kecil, mereka rela berpanas ria mengantri untuk mendapat dua sampai tiga liter minyak tanah.Aku jadi teringat era orde lama yang dapat dilihat dalam film dokumenter dan cerita orang-orang tua tentang antri minyak dan beras. Fenomena terulang pada zaman sekarang. Hal ini menandakan rakyat Indonesia masih dan belum pernah makmur-sejahtera! “Walaupun sudah 6 presiden yang berjanji mensejahterakan tetapi buktinya tidak ada sama sekali! Orang-orang “di atas” tidak merasakan dampak langka dan mahalnya minyak tanah. Rakyat kecil yang menjadi korban sikap semau gue mereka dalam membuat kebijakan!”, aku berbicara pada diriku sendiri di dalam hati.Menjelang sore, sepulang dari kantor kami menjemput Daffa untuk mengikuti TPA di Masjid Raya Mujahidin, yaitu masjid terbesar dan termegah di Pontianak. Setibanya kami di rumah Ibuku, terlihat Daffa dan Didil sudah mandi. Daffa sudah berpakaian rapi dengan seragam TPA-nya dan Didil sudah rapi dengan pakaian bersihnya. Didil kadang mau ikut mengantar Daffa TPA, tetapi aku yang malas untuk bolak-balik lagi mengantar Didil. Lumayan juga lelahnya bolak-balik mengantar Didil kalau dia ikut.Paling-paling kita hibur dia “Besok main sama Kak Daffa lagi ya”, kataku. Kalau sudah begitu Didil pun menjawab “Ya, ya”. “Didil jangan nakal ya”, kata Daffa. “Ya,ya”, seru keponakanku yang berumur 3 tahun itu. Daffa pun pamit dengan menyalami tangan neneknya dan tangan Didil, “Assalammualaikum, da... da...”, kata Daffa.Daffa termasuk anak yang bawel dan suka bercerita. Dia akan menceritakan apa yang dialaminya[6] dan dia akan selalu bertanya apa yang dilihat dan didengarnya. Kadang-kadang, kalau lagi malas untuk menjelaskan, aku berpikiran picik juga “Sudah ah, diam!”, seruku pada Daffa. Daffa bukannya diam malah balik bertanya-tanya lagi. Ya, akhirnya kujelaskan juga walau agak singkat. Daffa memang takut denganku tetapi kami sangat dekat. Daffa tipe anak yang sangat manja. Kami saling meledek atau bermain panco-pancoan kalau di rumah. Aku selalu iseng mengganggu Daffa. Biasanya dia pun langsung marah “Ih Papa nih, Jawa’! Betingkah!”, kata Daffa. Ya, aku memang selalu mengganggu Daffa kalau kami sedang santai nonton televisi, sampai-sampai dia kubuat menangis dan juga tertawa cekikikan.Dulu sewaktu masih berumur dua tahun enam bulan sampai ia masuk sekolah TK, kalau mau tidur aku suka mendongeng untuknya. Bahkan Mamanya paling sering diminta juga untuk mendongeng. Kalau sudah mendongeng, dia pasti tertidur dengan lelap. Aku bercerita tentang legenda Batu Belah Batu Betangkup, Si Kocep, Si Beruk, Si Jampang dan Si Badu, Si Miskin, dan sebagainya. Lucunya, si kecil penakut ini paling suka dengan cerita hantu. Kalau aku bercerita sebuah dongeng yang ada hantunya, pasti dia merapatkan tubuhnya dengan tubuhku sambil menunjukkan ekspresi takutnya. Lucu dan senang juga lihat ekspresinya!Oh ya, balik cerita tentang TPA. Setiba di Masjid Raya Mujahidin, Daffa pasti langsung masuk ke dalam masjid dan memulai pelajaran mengajinya dengan Ibu dan Bapak guru yang sudah menunggu. Di sana, Daffa diajarkan menulis huruf Arab, mewarnai, membaca doa, dan tentu saja membaca Quran. Daffa baru pandai membaca Iqra tiga. Pelan tetapi pasti, ia harus pandai membaca Alquran dengan sempurna. Kami selalu berdoa agar dia menjadi anak yang saleha dan cerdas. Dapat membanggakan orang tua, keluarga, Islam, dan negara!Biasanya kalau sudah selesai pelajaran tetapi teman-teman lain masih ada yang belajar mengaji—Daffa dan temannya yang sudah selesai belajar, langsung terus bermain di selasar masjid sambil berlari-lari. Ada juga yang bermain bola badminton yang dilempar-lemparkan ke atas. Apalagi didukung cuaca yang cerah dan langit yang bersahabat. Apabila turun hujan, peluang mereka bermain di selasar masjid semakin kecil.Pernah suatu ketika, Daffa jatuh tergelincir karena terinjak genangan air hujan yang tidak terlihat oleh pandangannya. Uups, Daffa pun tergelincir jatuh dan langsung menangis. Anakku ini memang cengeng dan manja! Namun, setelah menangis sejenak, ia lalu tertawa cekikikan bersama mamanya yang memimpin Daffa masuk lagi ke dalam masjid. Apabila guru-gurunya sudah selesai mengajarkan semua murid TPA pada hari itu, mereka kemudian dipanggil dan dikumpulkan kembali untuk bersiap sedia pulang. Sebelum pulang, biasanya diajari bacaan salat, doa, atau membaca surah-surah pendek. Kalau sudah selesai, kami tidak langsung pulang, Daffa dan teman-temannya bermain ayunan dan perosotan yang ada di lingkungan Masjid Raya Mujahidin. Setelah bermain sebentar, baru kami pulang ke rumah menuju istana surga dunia kami. Wah, melelahkan juga seharian beraktivitas bersama anak tercinta. Akan tetapi, sebagai seorang ayah, hal ini bagai surga yang takada nilai bandingnya!Setiba di rumah, Daffa pasti akan meminta makan. Kami biasanya membeli ayam panggang buat Daffa kalau dia sedang tidak mood makan. Itu pun kalau kami ada rezeki dan uang sedikit lebih.Akan tetapi, biasanya kami pun memaksa membeli ayam panggang demi Daffa, walaupun uang lagi menipis! Yang penting Daffa mau makan! Dengan adanya ayam panggang, dia lahap sekali memakan nasinya. Kalau sudah begitu, senang juga melihatnya sebab Daffa termasuk rentan dengan penyakit. Wajar dia harus banyak memakan makanan bergizi karena berguna untuk daya tahan tubuhnya.Daffa itu sering bolak-balik ke dokter karena dia memiliki gejala-gejala penyakit asma. Sedih juga memikirkan penyakitnya ini sebab ia tidak boleh banyak beraktivitas yang dapat membuat dia lelah. Alhamdulillah sekarang sudah mulai berkurang penyakitnya itu.Aktivitas sore menjelang malam biasanya kami lalui dengan menyiapkan makan untuk Daffa. Kalau sudah beli ayam panggang, sebelum Magrib dia pasti saya suap dengan lauk favoritnya itu. Kalau tidak ada ayam panggang, telur dua butir yang diceplok menjadi satu biasanya jadi pilihan untuk makan malam Daffa. Setiap hari begitu terus, sekali-sekali saja variasi makan dengan lauk ikan atau cumi-cumi.[7] Nah, setelah salat Magrib, aku dan Daffa pasti bertengkar untuk menonton televisi. Daffa maunya menonton kartun di Globaltv, sedangkan aku ingin menonton berita di stasiun televisi lainnya. Kami kadang gondok-gondokan dan adu urat syaraf memperebutkan televisi. Kalau sudah begini, istriku yang paling bijaksana menasehati “Giliran aja, kalau iklan nonton berita, kalau sudah mulai film kartun balik lagi nonton film”, kata mama kepada kami berdua. Kami pun sepakat!Aku lebih banyak mengalah sebab kesempatan Daffa menonton hanya sampai pukul 19.00 WIB saja. Ia harus patuh pada jadwal belajar yang telah ditentukan oleh mamanya. Daffa harus belajar setiap hari selama 1 jam. Setelah itu, dia boleh menonton televisi lagi. Gara-gara harus ikut Daffa menonton kartun di Globaltv, aku jadi hapal dengan film-film yang ada di stasiun televisi tersebut. Bahkan Daffa tahu kalau aku paling suka menonton film Avatar, The Legend of Ang. Kalau sudah film ini, Daffa pasti memberitahuku. Bahkan Daffa suka mengatakan kalau dia jadi Katara sedangkan Papa jadi Ang. Sambil bercanda “Mama jadi Saka aja Pa”, kata Daffa. “Ya”, kataku. Kami lalu cekikkan dan senyum-senyum sembari melirik ke mama. Aku setuju-setuju saja mendengar imajinasinya itu.Selain televisi, barang elektronik yang suka kami perebutkan untuk digunakan adalah komputer. Aku biasa bekerja menggunakan komputer, seperti membuat laporan penelitian, membuat artikel, dan sebagainya. Lagi-lagi, aku dan Daffa berebutan menggunakan komputer. Daffa biasanya mau main game. Kalau pekerjaanku tidak terlalu mendesak, biasanya aku izinkan dia terlebih dahulu menggunakan komputer dan aku belakangan. Akan tetapi, untuk urusan komputer, Daffa banyak mengalah kepadaku. Aku agak keras kalau sudah menggunakan komputer, dia tidak boleh mengganggu kecuali aku izinkan! Dan memang kesempatan itu diberikan setelah aku merasa capek atau bosan. Egois juga ya? Tetapi tidak juga, biasanya aku sering mengalah dan mengajarkan Daffa untuk urusan yang satu ini.Satu hal lagi yang membuat Daffa takut dengan barang miliku adalah menganggu koleksi buku-bukuku, kalau dia mau membaca harus izin dulu. Kalau sudah besar tidak perlu izin untuk membaca buku-buku yang ada di rak kayu milikku. Aku hanya khawatir buku itu dirobek dan dibawa keluar untuk dijadikan mainan oleh Daffa dan teman-temannya yang sering bermain di rumah. Aku punya pengalaman buku hilang, ternyata buku hilang tersebut dibawa teman Daffa pulang ke rumahnya. Aku mengetahuinya karena buku itu dibawa lagi bermain bersama Daffa. Buku hilang itu pun langsung kuambil. Walaupun anak tersebut mengaku itu buku miliknya. Aneh! tetapi anak tersebut tidak melawan dan banyak komentar ketika kuambil dengan cara baik-baik.Selain belajar selama satu jam pada malam hari, ia punya kebiasaan merekam suaranya di dalam HP milik mamanya. Ia memperkenalkan diri, sekolah, dan menceritakan apa yang telah dilakukan di sekolahan pada hari itu. Aku dan mama senyum-senyum saja melihat kebiasaan anak kami ini. “Ada bakat mau jadi wartawan kali ya atau jadi pembawa acara”, kataku pada si mama. Si mama hanya tersenyum.Akhir pekan biasanya kami pergi ke mal. Kami makan di mal atau main ayun-ayunan di kawasan gedung olah raga Pangsuma sambil menemaniku jogging. Oh ya, kalau di mal, Daffa paling senang singgah di sebuah restoran cepat saji, seperti KFC atau Texas.Selain itu, kalau ada lomba mewarnai kami pasti ikut berpartisipasi. Kami tahu Daffa tidak akan menang dalam perlombaan itu, tetapi kami mau anak ini berani tampil di depan umum.“Kok Daffa kalah terus ya Ma?”, kata Daffa kepada mamanya. “Tidak apa-apa. Yang penting Daffa sudah ikut dan dapat pewarna gratis”, kataku menjawab pertanyaan Daffa.“Daffa bukan anak hebat dong Ma?”, kata Daffa. Daffa dapat bertanya seperti itu karena dia paling suka membaca buku yang berisikan cerita tentang “Aku Anak Hebat”. Mendengar pertanyaan Daffa, mama menjawab “Daffa anak hebat kok, Daffa makannya habis, tidak nakal dan cengeng. Daffa nanti bantuin orang lain yang lagi susah atau burung yang sakit. Lagi pula kita kan sudah dapat doorprize CD Prof. Cero karena mama ikut lomba lari sambil gendong Daffa”, kata istriku menghiburnya. Daffa lalu tersenyum karena ia tahu kata-kata mamanya mirip dengan cerita dalam buku anak islami yang pernah ia baca.Beberapa bulan belakangan ini, banyak kegiatan massal yang melibatkan orang umum berpartisipasi, seperti gerak jalan sehat dalam rangka memperingati hari olah raga nasional (Haornas) yang diselengarakan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Kami ikut dalam gerak jalan sehat tersebut.[8] Kata istriku, “Siapa tahu kita beruntung dapat hadiah lawangnya (doorprize) Pa”.Aku senang saja ikut olah raga masyarakat tersebut. Hitung-hitung rekreasi dan hiburan buat keluarga. Kami mengikuti kegiatan tersebut memang seperti pergi rekreasi saja sebab kami pasti membawa bekal, seperti nasi, telur, sosis, dan minuman. Kata istriku beli makanan dan minuman di tempat kegiatan lebih mahal daripada tempat lain. “Sosis, jajanan Daffa di sekolah yang harganya seribu. Di tempat kegiatan, harganya menjadi seribu lima ratus. Mendingan kita goreng sendiri, lebih murah”, kata istriku. Ya, kami memang punya banyak pengalaman mengikuti gerak jalan sehat, setidaknya sudah empat kali gerak jalan sehat kami ikuti. Nah, cerita lain kalau sudah ikut gerak jalan sehat adalah aku pasti berkeringat lebih banyak dibandingkan mama Daffa. Mengapa? Karena aku harus menggendong Daffa di atas kedua bahuku ketika dalam perjalanan. Daffa paling senang digendong di atas pundakku. Mau tidak mau dia harus kugendong karena kasihan melihatnya sudah kelelahan.Aku teringat, beberapa minggu sebelumnya, kami juga mengikuti gerak jalan sehat yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun TVRI.[9] Daffa waktu itu agak bertingkah sebab baru saja start, Daffa sudah merengek-rengek minta digendong. Entah mengapa, pada saat itu aku marah sekali kepada Daffa sehingga mencubitnya agar dia diam dan tidak merengek-rengek. Dia menangis, aku makin geram saja sehingga mencubitnya terus. Cubitan itu lama-lama membuatnya diam juga. Kami menasehatinya untuk tidak mengulang lagi seperti itu karena Daffa sudah besar, sudah kelas I SD sehingga jangan jadi anak manja. Waktu itu, banyak anak kecil yang sebaya dan lebih muda dari Daffa yang jalan santai di sebelah orang tuanya. Lama-lama aku gendong juga dia karena dia memang terlihat lelah.Mengenang kejadian itu, aku sedih dan sangat menyesal. Seharusnya aku menggendong saja Daffa sebentar, tidak harus mencubitnya karena dia hanya ingin menunjukkan kemanjaannya padaku. Pengalaman ini membuatku mengambil hikmah agar tidak terlalu keras kepadanya. “I Love you Daffa. Maafkan papa”, kataku berbicara pada diri sendiri merenungi kejadian itu.Kami juga, pada saat hari Minggu terkadang mengunjungi Keraton Kadariah, yaitu istana kesultanan Pontianak yang kebetulan terletak dekat Sungai Kapuas.[10] Kami melihat-lihat koleksi yang dimiliki keluarga kerajaan Pontianak di dalam istana tersebut. Kami juga melihat Masjid Jami yang dibangun persis di tepi Sungai Kapuas. Aku bahkan menyempatkan diri untuk menunaikan salat Asar di masjid tersebut. Dulu, sewaktu Mbahnya yang ada di Jawa masih tinggal bersama kami di Pontianak.[11] Setiap hari Minggu, pasti kami belanja sayuran dan lauk-pauk di sana. Tempat itu terkenal dengan sebutan Pasar Beting. Pasar ini merupakan salah satu pasar tradisional yang menjual kebutuhan pokok masyarakat yang kebetulan berada di tepi Sungai Kapuas dan berada di lingkungan keraton Kadariah.Kami juga pernah menyeberang Sungai Kapuas menuju pusat kota dengan menggunakan perahu. Kami menikmati cerahnya langit sore di tengah-tengah Sungai Kapuas. Kami dapat melihat jembatan yang membelah Sungai Kapuas dan perahu-perahu yang hilir mudik. Daffa sangat menikmati penyeberangan ini. Ia begitu asyiknya bermain air melalui tepian perahu. Tangannya memercikan air ke atas karena deras air beradu dengan jari-jari tangan mungilnya. Mama pun mengabadikan semua momen tersebut dengan HP yang kebetulan ada kameranya. Walaupun bukan kamera bertipe pixel, lumayan buat kenang-kenangan.Kami juga mengunjungi Tugu Khatulistiwa yang konon terletak persis di bawah titik garis equatorial yang membelah planet bumi. Posisi Tugu Khatulistiwa juga terletak sekitar dua ratus meter dari tepian Sungai Kapuas. Mama melihat-lihat koleksi dalam ruangan tugu dan membaca keterangan awal berdirinya Tugu Khatulistiwa oleh pemerintah Kolonial Belanda. Tugu tersebut dibangun pada tahun 1928 oleh pemerintahan Belanda. Pengalaman keliling kota Pontianak bersama Daffa dan istri tercinta memang mengasyikkan. Aku baru sadar kalau kota tempatku lahir ini memiliki potensi wisata yang dapat dibanggakan. Aku dapat mengenalkan ciri khas dan situasi sosial budaya Pontianak pada anakku. Hal ini kulakukan supaya ia memiliki pengalaman dan wawasan memadai tentang kota kelahirannya.Bayangkan saja, kami sangat menikmati keunikan dan keindahan Sungai Kapuas yang terkenal sebagai sungai terpanjang di Indonesia. Namun sayang, Lembah Sungai Kapuas masih belum diperhatikan secara maksimal oleh Pemerintah Kota Pontianak untuk dijadikan tempat wisata dan bersantai yang menyenangkan bagi keluarga dan wisatawan. Padahal, Pemerintahan Kota Pontianak memiliki moto “Kota Jasa dan Perdagangan”, tetapi wujud moto itu dalam pembangunan masyarakat kota masih belum tampak dan menyentuh!Walaupun demikian, buatku yang penting adalah aku senang bersama surgaku tercinta Daffa Priska Febianti mengelilingi kota Pontianak. Walaupun infrastruktur untuk melepas lelah dan bersantai bersama surgaku di bumi Khatulistiwa ini masih sangat minim.Namun, cintaku pada Kota Pontianak mengingatkanku pada perumpamaan cinta yang dibuat oleh Jalaludin Rumi dalam mengungkapkan isi hatinya tentang cinta kepada Tuhan “Karena cinta duri menjadi mawar. Karena cinta tumpukan debu kelihatan sebagai taman. Karena cinta duka menjadi riang gembira. Karena cinta hantu berubah menjadi malaikat. Karena cinta sakit jadi sehat. Karena cinta amarah berubah menjadi keramah-tamahan.”, kata Rumi dalam Diwan dan Masnawi Rumi yang terkenal berjudul Cinta yang aku petik sepenggal-sepenggal tersebut.Biarpun Pontianak belum tampak indah dan cantik, karena cintaku semua duka menjadi riang gembira bersama surga-surga duniaku. Aku berharap Pemkot Pontianak membangun istana cinta demi surga duniaku dan kekasihku yang abadi. Wahai cintaku, semoga engkau terus berikan mahakasih dan mahabercahayamu pada keluarga kami di dunia dan akhirat! Amin.Pontianak, 28 Juli 2007
[1] Daffa bak surgaku sebab anak adalah ibarat tempat untuk menghilangkan rasa lelah, tempat melihat berbagai keindahan, tempat untuk memberi kasih sayang, tempat untuk mendengar dan menasehati, tempat untuk menempatkan harapan, tempat untuk menyatukan ibu dan bapaknya dalam kedamaian, tempat untuk meluahkan kegembiraan, dan tempat untuk berdoa dan bersyukur terhadap anugrah-Nya. Anak menjadi tempat timbangan dalam memutuskan hubungan suami-istri tetap bersatu atau berpisah. Anak adalah bak surga bagi sebuah keluarga di dunia. [2] Daffa paling senang memakai baju Dora, Sponge Bob, Monokurobo, dan sebagainya. Baju harian itu murah jadi boleh juga membelikannya untuk dipakai sebagai baju harian.[3] Pernah suatu ketika aku meminta adikku yang dikenal Daffa dengan panggilan Abah untuk menjemput Daffa pulang sekolah. Waktu itu, aku tidak sempat menjemput Daffa karena dapat kesempatan menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak. Ceritanya, Daffa sampai sekitar pukul 13.00 belum juga dijemput oleh adikku. Kata adikku Daffa tidak ada! Dia sudah mencari-cari di kelas dan di seputar sekolah tidak ada juga. Mendengar penjelasan adikku yang kebetulan juga sibuk dengan nasabahnya pada sebuah bank swasta nasional, membuat aku gelisah dan berpikir mungkinkah Daffa diculik. Aku panik! Aku telepon mamanya, mungkin dia yang menjemput Daffa tetapi ternyata tidak! Aku jadi lebih tidak tenang lagi. Maklumlah anak semata wayang. Kebetulan penyelengara kegiatan seminar adalah teman sehingga langsung saja aku izin sebentar menuju ke sekolahan Daffa untuk menjemputnya. Kucari-cari, di kelas, kantin, ruang guru, dan halaman bermain tetap saja Daffa tidak kutemukan. Aku terus saja mencari-cari, aku keluar menuju halaman depan sekolah untuk mencari di kantin-kantin tetapi tidak juga ada. Aku balik lagi ke dalam mencoba sekali lagi mencari-cari tetapi takkunjung bertemu juga. Pas aku mau ke luar menuju halaman depan, seorang satpam berlari memangi-mangil “Pak, Pak cari anaknya ya”. “Iya”, sahutku. “Anaknya tinggal di Tanjung Hulu?”, tanya Satpam itu. “Iya. Di mana anaknya Pak?”, tanyaku. “Dia di pos Satpam, dari tadi menangis terus dan bilang kalau dia tinggal di Tanjung Hulu. Saya lihat Bapak seperti sedang mencar-cari dan mukanya mirip”, kata Pak Satpam. Kami pun bergegas menuju pos Satpam. Benar saja Daffa dengan wajah sembab terlihat gusar padaku. “Kok Papa lama jemputnya ”, tanya Daffa yang terus meneteskan air mata. Aku berusaha menjelaskan kalau dia tadinya akan dijemput Abah tetapi tidak bertemu dan ku jelaskan juga kegiatan yang sedang aku lakukan. Aku berusaha menghiburnya dengan membelikan jajanan dan bercanda-canda dengannya tetapi isak tangisnya masih terdengar. Pak Satpam menasehatkanku untuk menuliskan nomor telepon yang bisa dihubungi di buku penghubung anakku sehingga kalau kejadian serupa terjadi maka pihak sekolah bisa langsung menghubungi orang tuanya. Aku setuju dengan nasehat Pak Satpam. “Terima kasih atas perhatian Bapak”, ucapku pada Pak Satpam ketika berlalu dihadapannya. Aku kemudian bergegas membawa Daffa ke kantor mamanya. Ketika bertemu dengan mamanya, ia mulai tersenyum. [4] Kadang aku juga mengajak Didil untuk menjemput Daffa ke sekolahannya. Itu membuat Daffa senang dan tersenyum karena Didil menyertaiku menjemputnya. Didil cekikikan kesenangan,“Mbak Daffa, Mbak Daffa”, kata Didil ketika melihat Daffa keluar dari kelas. Melihat Didil memangil-mangil namanya, Daffa tersenyum dan mukanya kelihatan senang sekali. Tidak mengherankan, karena keakraban mereka—Daffa kalau jajan pasti ingat Didil dan membelikannya sesuatu.[5] Aku suka cerita ke Mamong, “Sikap Daffa terhadap Didil ini lucu, kadang benci tapi rindu. Kalau Didil lagi tidak ada, pasti dicari dan ditanya”, kataku kepada Mama Daffa.[6] Ia bercerita tentang temannya Ipul yang kebetulan duduk satu bangku dengannya, harus diajarkan menulis oleh Daffa. Bu Tari salah satu guru kelasnya meminta Daffa mengajarkan Ipul menulis. Aneh, pikirku. Daffa menulis saja belum baik dan bagus tetapi sudah diberi kepercayaan oleh gurunya. Selain itu, ia bercerita bahwa ia marahan dengan Diva, Daffa yang dimarahi Bu Tari karena tidak memerhatikan pelajaran, temannya Fikri yang menangis karena ditinggal orang tuanya, Una seorang teman kelasnya yang ditunggui oleh ibunya di kelas, ada yang berkelahi di kelas, dan sebagainya. Semua ia ceritakan kepada kami dengan penuh semangat. [7] Selain ceplok, Daffa terkadang juga minta di dadar. Tergantung keinginanya pada saat itu. Yang pasti telur menjadi makanan favorit kami sekeluarga. Kalau ada undangan pesta perkawinan pasti membuat kami senang karena menu daging dan lain-lain yang jarang kami makan dapat kami nikmati he he he. “Makan siang atau makan malam yang enak”, seru istriku. Kami tidak masak nasi yang banyak kalau pas ada undangan pernikahan he he he, memalukan![8] Gerak jalan sehat itu memecahkan rekor MURI karena membawa bendera merah putih sepanjang 4 kilometer. Pada saat itu, kota Pontianak diguyur hujan deras tetapi tidak menurunkan semangat para peserta ikut berkumpul di halaman pendopo Gubernur Kalimantan Barat. Sebagian ada yang berlindung di tenda-tenda yang telah disipakan panitia, sebagian lagi malah ikut hujan-hujanan sambil melompat-lompat menyanyikan lagunya Coklat “Bendera”. “Merah putih teruslah berkibar, diujung tiang tertinggi, di Indonesiaku ini”, kata Daffa mengikuti rentak lagu tersebut dari kejauhan dalam sebuah tenda. Terlihat Gubernur Kalimantan Barat dipayungi menuju kantor Gubernur. Ia melewati tenda kami, beberapa orang menyorakinya “Huuuu”. Wajar saja orang menyoraki begitu sebab sudah datang terlambat, ia dipayungi dan dilindungi oleh orang-orangnya sedangkan masyarakat kehujanan menunggu kedatangannya. Aku berbicara kepada Mama Daffa “Pak Usman Jafar inikan mencalonkan diri lagi dalam Pilkada 2007 sebagai Gubernur. Kalau aku jadi dia, pasti aku akan buat citra untuk menarik simpati masyarakat. Misalnya, dia dapat saja berlari dalam hujan menuju panggung, terus ikut serta menyanyikan sebait dua bait lagu grup band Coklat “Bendera” atau memberi ucapan motivasi yang menyemangati masyarakat untuk terus semangat walaupun hujan menguyur deras. Misalnya dengan berkata, “Wahai penduduk Pontianak, ini masih belum seberapa dibandingkan dengan perjuangan para pahlawan yang berkorban darah dan nyawa demi bangsa kita ini sedangkan kita hanya berkorban basah badan karena diguyur hujan, Merdeka!”, kataku berbicara pada Mama Daffa. “Iya, sekarangkan suasana emang masih suasana hari kemerdekaan”, kata istriku membenarkan. “Pak Usman Jafar seharusnya minta nasehat politik kepadaku”, tegasku kepada mama sambil tertawa. Lalu kami berdiam diri sambil menunggu hujan reda. [9] Pada hari yang sama ada juga gerak jalan sehat yang dilaksanakan oleh salah satu kandidat gubernur yang ikut bertarung dalam Pilkada 2007. Dalam gerak jalan tersebut dibagikan banyak hadiah dan hadiah utamanya adalah sebuah rumah. Aku bilang sama istri, “Kalau mau ikut gerak jelan sehat, ikut yang diselenggarakan oleh TVRI saja. Aku tidak mau ikut-ikutan politik dan jadi partisan kelompok tertentu. Kalau ikut, berarti kita dimanfaatkan untuk dukung-dukungan dengan iming-imingan hadiah rumah”, ujarku mantap. Hadiah yang ditawarkan memang menggiurkan dan banyak teman yang ikut-ikutan acara gerak jalan kandidat gubernur tersebut. Aku tegaskan pada teman-teman, “Maaf nih, kita ikut gerak jalan karena cari kesenangan dan rekreasi bukan untuk ditunggangi kepentingan politik tertentu, he he he”. [10] Aku sedih ketika mengunjungi Istana Kesultanan yang dibanggakan ini. Sedih karena setelah melihat-lihat kita dimintai “sedekah” oleh “staf” yang mempersilakan masuk, sedih ketika memberi uang seribu kepada penjaga Sandal ditangga masuk malah disambut dengan muka masam dan tidak bersahabat! Waktu itu kami memasukkan uang ke dalam kotak sumbangan dengan Ikhlas di dalam ruang istana dan istriku memberi uang tambahan dua ribu kepada penjaga Sandal itu. Aku menceritakan ini bukannya bermaksud tidak mau bersedekah, tetapi citra Istana adalah citra bangsawan dan kemakmuran. Aku hanya teringat ketika datang ke Istana Sultan Melaka di Malaysia, sambutannya begitu ramah dan dipandu dengan baik disertai penjelasan-penjelasan yang sangat lengkap dan santun dan tidak ada pungutan liar dalam bentuk kotak sumbangan. Hal ini berlaku kepada siapa saja, bukan karena aku orang Indonesia—lagi pula mana mereka tahu kalau Aku orang Indonesia, wajahku saja mirip kebanyakan lelaki Malaysia. Mereka betul-betul menjadikan Istana sebagai wisata sejarah yang membanggakan dan harus dikatahui oleh orang yang mengunjunginya. Entah kapan Pemkot Pontianak dan Pemprov Kalbar mau membenahi cara sambut—agar tidak ada punggutan liar dan dikelola dengan profesional. Kita harus menunjukkan kepada dunia luar bahwa Istana Kadariah tidak perlu sumbangan bak kotak sumbangan masjid. Istana menanamkan nilai historis dan patriotis kepada pengunjungnya. Pemerintah harus memikirkan ini, missal dengan menggaji orang dalam Istana untuk merawat dan menjadi pemandu wisata yang terlatih.[11] Mbahnya ini dipanggil Daffa dengan sebutan Mbah Yeyet karena Mbahnya yang ada di Jawa ini sangat cerewet. Oleh karena lidah Daffa dulu masih cadel sehingga bunyi /wewet/ disebut /yeyet/. Kami berencana pergi ke Jawa untuk mengunjungi Mbah Yeyet pada saat lebaran Idul Fitri tahun ini sesuai dengan keinginan Daffa. Neneknya yang ada di Pontianak dipanggil dengan sebutan Mbah Jawi karena tinggalnya di daerah Sungai Jawi. Ada-ada saja anakku ini dalam menyapa nenek-neneknya.

Comentários Recentes